Dari hobi ke untung, jastip jadi jalan baru penghasilan


JAKARTA, Erfa News—
Di tengah ritme kota yang kian padat dan kebutuhan hidup yang terus meningkat, jasa titip atau jastip menjelma menjadi salah satu bentuk kerja baru yang tumbuh cepat di perkotaan. Ia hadir bukan sebagai usaha besar yang dirancang matang, melainkan lahir dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang berulang dan perlahan menemukan momentumnya sendiri.

Dari perjalanan yang awalnya sekadar hobi, dari konten media sosial yang tak sengaja viral, hingga dari permintaan sederhana “titip dong” yang lama-kelamaan berubah menjadi antrean pesanan, jastip berkembang menjadi cara baru sebagian orang mendulang penghasilan. Dari sekadar menitipkan barang kepada teman yang bepergian, jasa titip kini menjelma menjadi bagian dari cara masyarakat memenuhi kebutuhan, baik untuk barang luar negeri maupun produk lokal yang sulit dijangkau.

Fenomena ini tumbuh seiring meningkatnya mobilitas, peran media sosial, serta kebiasaan masyarakat yang kian mengutamakan kemudahan. Dari pakaian dan barang gaya hidup hingga makanan khas, jastip menjembatani jarak antara permintaan dan ketersediaan.

Berawal dari hobi

Bagi Raka (27), jastip tidak pernah dirancang sebagai bisnis sejak awal. Ia berangkat dari kesukaan pribadi bepergian ke luar negeri, menjelajahi kota-kota baru, sekaligus berburu barang yang tidak selalu tersedia di Indonesia. Dari aktivitas itulah, permintaan mulai berdatangan, awalnya dari lingkar pertemanan sendiri. Permintaan yang semula kecil dan informal perlahan membesar. Dari sekadar titipan teman, berubah menjadi pesanan rutin yang membutuhkan perhitungan lebih matang.

Di titik itu, Raka mulai melihat jastip bukan hanya sebagai bantuan, tetapi sebagai peluang. "Saya mulai jastip sekitar awal 2021. Awalnya karena suka jalan-jalan ke luar negeri. Dari situ teman-teman mulai nitip barang, dari situ kepikiran, kenapa nggak sekalian dibikin lebih serius," kata dia.

Dari sampingan menjadi sumber penghasilan

Seiring waktu, jumlah pesanan yang masuk ke Raka terus bertambah. Apa yang awalnya hanya mengisi waktu luang, mulai menuntut perhatian lebih. Ia harus menghitung modal, mengatur waktu belanja, hingga menjaga komunikasi dengan pelanggan. "Awalnya murni sampingan. Tapi lama-lama peminatnya makin banyak, pesanan rutin, akhirnya jadi salah satu sumber penghasilan utama," ujar dia.

Transformasi ini tidak selalu mulus. Jastip bukan sekadar membeli barang lalu menyerahkannya kepada pelanggan. Ada tanggung jawab, kepercayaan, dan risiko yang harus ditanggung oleh jastiper. Raka juga harus memilih jenis barang yang tepat. Tidak semua barang cocok dijadikan titipan, terutama jika mempertimbangkan ukuran, risiko kerusakan, dan tren pasar.

"Paling banyak pakaian, terutama brand yang modelnya beda atau enggak masuk Indonesia. Selain itu barang lifestyle kayak tas, sepatu, dan kadang kosmetik," katanya.

Puluhan pesanan dalam satu perjalanan

Dalam satu kali perjalanan ke luar negeri, Raka bisa membawa puluhan pesanan sekaligus. Jumlah ini sangat bergantung pada momentum, terutama jika ada rilis koleksi baru atau tren tertentu. "Kalau lagi ramai, bisa 10 sampai 15 pesanan, karena aku juga ngebatasin. Tapi itu tergantung musim juga dan rilis barang. Kalau ada koleksi baru, biasanya langsung membludak," ujar dia.

Volume pesanan yang besar berbanding lurus dengan potensi penghasilan. Namun, di sisi lain, beban kerja dan risiko juga meningkat. Kesalahan kecil dapat berujung pada komplain besar. Meski begitu, secara ekonomi, jastip memberi Raka ruang bernapas yang cukup. "Kalau dihitung bersih, jastip bisa nutup kebutuhan bulanan. Emang nggak selalu stabil, tapi di bulan tertentu bisa lebih besar dari gaji kerja kantoran," tuturnya.

Risiko kerugian

Di balik keuntungan, Raka menegaskan bahwa jastip bukan tanpa tantangan. Salah satu yang paling berat adalah persoalan modal dan kepercayaan pelanggan. "Banyak barang harus dibayar dulu, sementara pembeli belum tentu transfer penuh. Selain itu, ngatur waktu belanja, update pelanggan, dan pengiriman itu capek," ujar dia.

Pengalaman pahit pun pernah dialami, terutama di masa awal merintis. "Ada yang batal sepihak. Sekarang saya pakai sistem DP dan lebih selektif terima pesanan," kata dia. Dari pengalaman itu, Raka belajar bahwa jastip bukan sekadar soal belanja, tetapi juga manajemen risiko.

Bermula dari konten

Berbeda dengan Raka, Fristo memulai jastip bukan dari perjalanan pribadi, melainkan dari media sosial. Satu konten yang viral menjadi titik balik yang tidak pernah ia rencanakan. "Awal mulanya kan dari salah satu konten aku yang FYP (for you page) Rp 2,1 juta. Lalu ada beberapa orang yang komen dan DM (direct message), tadinya iseng aja," kata Fristo.

Dari iseng, Fristo mulai belajar menjadi jastiper secara otodidak. Ia menyusun sistem harga, alur penjemputan, hingga mengenal vendor-vendor makanan yang paling sering dipesan. "Aku mulai belajar jadi jastiper, mulai dari nentuin harga sistem penjemputannya bagaimana dan mulai kenalan sama semua vendor yang paling sering di pesan," kata dia.

Dari tiga pesanan ke belasan order sehari

Pertumbuhan pesanan Fristo terjadi relatif cepat. Dalam waktu singkat, jumlah order yang masuk meningkat signifikan. "Awal-awal aku cuma terima tiga orderan, tapi pernah tertinggi itu sampai 17 orderan," kata dia. Berbeda dari jastip luar negeri, jastip Fristo sepenuhnya berfokus pada makanan. Jajanan khas Puncak menjadi daya tarik utama.

"Full makanan semua, mulai dari sate Maranggi Sari Asih, Sate Kambing, Okeke, Gemblong Bu Juju, Duren Goreng Pasundan sampai Chocomory," kata dia. Menariknya, sejak awal pelanggan Fristo bukan berasal dari lingkar pertemanan. "Dari awal, pelanggan aku stranger semua," ungkapnya.

Penghasilan tambahan

Melalui jasa titip yang ia tekuni, jastip perlahan menjadi sumber penghasilan tambahan yang signifikan. Dari perjalanan yang awalnya sekadar berangkat untuk kebutuhan pribadi, jastip justru membuka peluang ekonomi yang tak ia sangka sebelumnya. "Untuk penghasilannya perminggu alhamdulillah banget deh, Sangat diluar ekspektasi. Untuk nominalnya aku rahasiain tapi sangat cukup buat aku," ujar Fristo.

Respons positif juga datang dari keluarga. Aktivitas jastip yang menuntut mobilitas tinggi dan jarak perjalanan jauh sempat menimbulkan kekhawatiran, namun perlahan berubah menjadi dukungan penuh setelah melihat manfaat yang diperoleh. "Dari keluarga juga seneng dan mendukung aja, apalagi pas tahu nominal yang kita dapat. Ya asal tetap jaga kesehatan dan keselamatan karena jaraknya tuh jauh banget dan harus PP," ujarnya.

Praktis jadi alasan

Bagi Rina (29), karyawan swasta di Jakarta Selatan, jasa titip mulai terasa relevan ketika tuntutan pekerjaan membuat waktu luangnya semakin terbatas. Aktivitas harian yang padat membuatnya sulit meluangkan waktu khusus untuk berbelanja sendiri. "Saya mulai pakai jastip sekitar dua tahun lalu. Awalnya tahu dari Instagram, lihat teman repost jastiper yang sering ke luar kota atau ke mal tertentu. Dari situ coba-coba," ujar dia saat dihubungi.

Berbelanja secara langsung, menurut dia, kerap menyita waktu lebih banyak. Perjalanan menuju lokasi, kondisi pusat perbelanjaan yang ramai, hingga proses mengantre di kasir menjadi rangkaian yang harus diperhitungkan di tengah jadwal kerja yang ketat.

Sedikit berbeda dengan Rina, Aditya (25) melihat layanan jastip sebagai pintu akses terhadap barang-barang yang sulit diperoleh di dalam negeri. Ia mengaku mulai menggunakan jasa titip karena ketertarikannya pada produk-produk asal Jepang yang kerap ia temui di lini masa media sosial. "Awalnya tahu dari Twitter dan Instagram, banyak akun jastip Jepang yang sering update barang-barang UNIQLO atau snack yang cuma ada di sana," kata dia.

0 Response to "Dari hobi ke untung, jastip jadi jalan baru penghasilan"

Posting Komentar