Menggenggam Harapan, Mengembalikan Sentra Kakao Nasional ke Tabanan

Koperasi MAB: Mengembalikan Kejayaan Kakao Tabanan

Langit Tabanan yang mendung dan sejuk menyambut pagi menjelang siang. Perjalanan dari kota ke Selemadeg Timur memakan waktu sekitar dua puluh dua menit. Di samping Kantor Polsek Selemadeg Timur, berdiri sebuah ‘markas’ sederhana di belakang bangunan tua yang terbengkalai.

Di halaman belakang bangunan Unit Pembinaan Perlindungan Tanaman (UPPT) Megati itu, aktivitas hidup berdenyut kencang. Ada semangat berkobar dalam hati setiap pengurus dan pendampingnya. Buah-buah cokelat keemasan menggantung ranum, siap dipetik. Inilah pusat Koperasi Manik Amerta Buana (Koperasi MAB), tempat kelahiran kembali ambisi besar: mengembalikan kejayaan kakao Tabanan seperti era 80-an, dengan biji fermentasi premium yang kini diekspor langsung ke Prancis.

Kantor terbuka yang sederhana dan ramah ini adalah pusat pembibitan, gudang, dan ruang pengeringan. Seluruh proses pengolahan biji kakao dari awal hingga siap dikirim ke pasar lokal dan internasional dilakukan di tempat ini, yang statusnya masih menumpang pada Hak Guna Pakai Dinas Pertanian Provinsi.

Awal Perjuangan dan Terbentuknya Koperasi MAB

Kisah perjuangan ini berawal dari seorang pemimpin berdedikasi, I Nyoman Suparman, yang lahir tahun 1968. Pria berusia 57 tahun ini mengenang, Koperasi MAB mulanya bukanlah badan hukum resmi, melainkan sebuah lembaga biasa bernama Lembaga Masako (Masyarakat Kakao) Tabanan.

Lembaga ini dibentuk dari rembugan (musyawarah) enam puluh ketua subak abian di Kecamatan Selemadeg Timur. Namun, Masako dirasa tidak memberikan manfaat bisnis nyata bagi petani. "Dulu di Masako itu cuma sekadar informasi berita saja, tidak ada pembicaraan mengenai bagaimana bisnis ke depan," ujar Suparman, mengenakan topi krem dan baju polo bertuliskan ‘Desa Sejahtera Astra’.

Berangkat dari inefektivitas tersebut, muncul ide besar untuk membentuk koperasi. Lembaga baru ini diharapkan mampu menyediakan akses pasar, teknologi, dan wadah berkumpul yang lengkap, serta mensejahterakan kelompok. Tepat pada 7 November 2019, Koperasi MAB pun resmi terbentuk.

Pada awal pendirian, setiap anggota MAB—yang berjumlah 50 orang pendiri—wajib membayar iuran Rp 1 juta sekali di awal, yang terdiri dari iuran pokok, iuran wajib tahunan, dan tabungan koperasi.

Sayangnya, masa awal yang penuh semangat itu disambut oleh pandemi COVID-19. "Di tahun 2020 kita total berhenti, tidak berani bergerak, karena memang anjuran dari pemerintah," kenang Suparman.

Kegiatan baru bisa dibuka kembali pada Agustus 2021 seiring kelonggaran pemerintah. Di tahun 2022, Koperasi MAB mulai berproduksi dengan total anggota mencapai 60 orang.

Ekspor Biji Kakao Premium ke Prancis

Tahun 2023 adalah titik balik MAB aktif mencari buyer. Berbekal jaringan pendampingan, mereka mulai menjalin kerja sama dengan buyer luar negeri dari negara Prancis.

Peningkatan Produktivitas MAB terjadi di tahun 2024 hingga 2025. Pada 2024 volume ekspor ke Parona (Prancis) mencapai 500 kilogram dengan harga jual ekspor fermentasi Rp 160.000 per kilogram. Sedangkan pada 2025, volume ekspor ke tempat yang sama ada sekitar 3 ton atau 3 ribu kilogram dengan harga jual ekspor Rp 175 ribu per kilonya.

Total produktivitas kakao MAB di tahun 2025 sudah mencapai 5.800 kilogram dari 300 orang petani binaan, atau 150 petani inti yang didampingi intensif. Biji kakao koperasi MAB diminati pasar lokal dan internasional karena fokus pada fermentasi premium.

"Harga biji fermentasi untuk pasaran lokal dihargai Rp165.000 per kilogram," tambah Suparman.

Selain biji, MAB juga menjual produk turunan (Cacao Nib) dengan harga Nib Non-Roasted Rp 200.000 per kilo, dan Nib Roasted Rp 237.000 per kilo.

Koperasi MAB menerapkan sistem "jemput bola" setiap hari Sabtu dan Senin untuk melawan persaingan dari tengkulak lokal. Biji yang diambil adalah biji basah murni, dengan kata lain sudah dibersihkan kulit dan plasentanya dari petani.

Biji kemudian menjalani proses ketat, mulai dari fermentasi, yang berlangsung kurang lebih tujuh hari di kotak khusus. Perlakuan pembalikan (turning) dilakukan dua kali (setelah hari ke-2 dan hari ke-4) untuk memastikan hasil fermentasi optimal. Pengeringan (Drying), memakan waktu 4 hari (jika cuaca terik) hingga 10 hari (jika mendung/hujan) di dryer. Sortasi, biji dikumpulkan dan disortasi manual secara ketat sebelum disimpan di gudang. Biji yang ditolak (reject) dijual sebagai biji asalan (non-fermentasi) dengan harga saat ini sekitar Rp 55.000 per kilonya.

Setiap pengiriman ke Prancis harus melewati tiga kategori pengujian yang sangat ketat, yakni uji fisik untuk melihat kadar air dan keberhasilan fermentasi. Uji profil aromatic, dilakukan oleh 10 juri bersertifikat di Prancis, kemudian diolah menjadi cokelat dan diuji oleh 32 chef. Uji Residu Kimia, atau yang paling krusial, karena jika ambang batas Eropa terlampaui, kontrak 3.000 kilogram bisa batal total.

"Jadi sebelum seluruhnya dikirim, akan dikirim sampel terlebih dahulu sebanyak delapan kilo (diambil dari sejumput dari pengemasan 24 karung biji kakao). Sampel inilah yang menentukan lolos atau tidaknya. Tapi sejauh ini aman dan layak untuk pasar Prancis," kata I Nengah Jaya Nugraha, Pendamping Koperasi MAB dari Yayasan Kalimajari.

Titik Krusial, Fasilitas dan Dukungan Mitra

Nengah Jaya menjelaskan, bahwa koperasi MAB tidak bekerja sendiri; mereka didukung oleh Yayasan Kalimajari, sebuah NGO lokal Bali yang fokus pada pemberdayaan kakao. Kalimajari dengan MAB memulai kolaborasi tahun 2020 dengan program TRACTION, yang dilakukan pihaknya.

"Kami memang memulai dengan misi bahwa produk Kakao Tabanan juga harus punya brand-nya sendiri, punya keunikannya sendiri. Satu-satunya cara melalui fermentasi," kata Nengah Jaya.

Yayasan Kalimajari jugalah yang membantu MAB mendapat dukungan CSR Astra di tahun 2025. Dukungan Astra berupa, sarana bangunan rumah produksi/pengolahan, mesin roasting kapasitas 10 kilo, dan mesin pemecah biji Cacao Nib kapasitas 5 kg.

Dukungan ini krusial untuk menambah nilai jual produk turunan. Lima desa binaan MAB ialah di Desa Gadungan, Gadung Sari, Gunung Salak, Megati, dan Lumbung, yang telah didaftarkan menjadi desa pionir Astra.

Namun, fasilitas kini menjadi titik krusial di tengah kesuksesan ekspor. Nengah Jaya mengakui, kapasitas produksi saat ini baru seperlima dari potensi total 150 petani inti yang dibina.

"Kami butuh minimal dua rumah jemur lagi tahun depan. Karena kami tidak ingin menjemur biji kakao di atas terpal, harus ada jarak dengan tanah, dijemur dengan para-para agar sirkulasi udara berputar. Itu standar untuk biji kakao fermentasi. Semoga Astra Kembali membantu untuk tahun depan sesuai kebutuhan ini," jelas Jaya.

Kapasitas rumah jemur saat ini hanya 600 kg biji basah. MAB berharap Astra dapat melanjutkan dukungan untuk membangun fasilitas produksi yang standar, termasuk kotak fermentasi dan gudang yang lebih besar.

Mimpi Besar Sentra Kakao 2035

Meskipun sudah sukses ekspor dan memiliki kontrak besar, Koperasi MAB masih menyewa mobil pikap untuk transportasi biji. Panen kakao terjadi dari bulan April hingga Desember. Suparman menuturkan keyakinan dan visi besar Koperasi MAB di tengah tantangan yang ada.

"Kami daftarkan lima desa agar terjadi lagi hamparan kakao. Kami yakin 2035 Tabanan akan menjadi sentra kakao nasional. Kami ingin biji dari Tabanan mampu menembus pasar dunia, mengembalikan lagi kejayaan kakao Tabanan seperti era lampau, agar warisan leluhur ini tidak punah karena petani tergiur komoditi lain," ujar Suparman penuh harap.

MAB dan petani binaan sedang menggenggam asa itu dengan teguh, didukung sistem koperasi yang kuat dan pendampingan intensif. Mereka bertekad mengiringi, bukan bersaing, dengan koperasi sukses lain seperti KSS Jembrana, dengan fokus pada wilayah masing-masing. Tekad ini adalah pondasi untuk mencapai target minimal 20 ton biji kakao fermentasi per tahun dalam tiga hingga empat tahun ke depan. Mengembalikan kejayaan Tabanan sebagai sentra Kakao Nasional di 2035.

0 Response to "Menggenggam Harapan, Mengembalikan Sentra Kakao Nasional ke Tabanan"

Posting Komentar